Dua tahun yang lalu saat saya masih ditempatkan di kantor pusat Sudirman, maka praktis tiap pagi sore saya menjadi pengguna setia KRL Jabodetabek. Bagaimana tidak, jarak tempuh dari Lenteng Agung ke Sudirman cukup jauh. Tidak terbayang jika harus menembus kemacetan Jakarta lewat jalur kendaraan bermotor. Maka solusinya adalah jadi anak kereta. Pukul 05.15 pagi maka saya sudah nongkrong kece di Stasiun UP dan sore hari ketika selesai tutup kas, maka pukul 17.00 lewat-lewat dikit laaahh.
Jaman dulu masih ada adegan kereta ekonomi dengan massa penumpang yang anarkhis dengan manjat-manjat atap gerbong kereta, sampai banyak kejadian kesengat listrik dari atap, namun tak membuat jera juga. Akhirnya Pemprov DKI menghapuskan adanya kereta ekonomi dan menyetarakan dengan Commuterline. Kereta ekonomi tidak difungsikan, namun Commuter yang juga tidak terlalu banyak armadanya, membuat adegan desak-desakan tiap pagi dan sore menjadi hal lumrah.
Awalnya tiket Commuterline bisa dibeli di loket penjualan tiket dengan karcis kertas single trip. Ada pula yang menggunakan fasilitas abodemen dengan membayar bulanan, cocok untuk pengguna Commuterline yang tiap hari naek.
Makin lama, teknis pembelian tiket Commuterline makin di update. Harga pun sekarang dikurangi jauh lebih murah. Sekarang menggunakan sistem jarak per stasiun. Jika hanya pergi melewati 2 stasiun maka hanya membayar 2000 rupiah saja, dan kelipatan 500 rupiah untuk 2 sampai 3 stasiun berikutnya, cukup murah bukan? Sistem pembelian tiket pun mejadi lebih canggih, sekarang Commuterline Jabodetabek hampir meniru MRT yang ada di Singapore dan Kuala Lumpur. Walaupun masih jauh dari mereka, namun setidaknya kita sudah berusaha ada kemajuan.
Kecanggihannya masih belum efektif dan efisien. Mengapa? Pertama, pembelian tiket masih dilayani di kounter tiket, menyebutkan lokasi tujuan, dan bayar ditempat. Petugas akan memberikan kartu perjalanan dan recepit bukti transaksi. Ini dari kertas. Tidak paperless sih. Sedangkan di Singapore sudah menggunakan mesin pembelian tiket otomatis, dengan menekan tujuan perjalanan dan memasukkan uang, maka kartu akan keluar dari mesin, dan jika ada kembalian maka akan keluar kembaliannya. Hemat petugas dan tidak buang-buang struk kertas.
Kedua, penumpang diharuskan membayar jaminan kartu seharga Rp. 5000 setiap pembelian tiket kereta. Jadi apabila kita ingin menaiki sampai 2 stasiun seharga Rp. 2000, maka kita harus membayar di loket Rp.7000 (terdiri dari Rp. 5000 jaminan kartu dan Rp. 2000 harga tiket sebenarnya). Kartu ini berlaku untuk single trip, hanya bisa di top up apabila akan melakukan perjalanan lagi. Kartu ini tidak boleh hilang.
Jadi, ketika kita dapat kartu ini, maka kita akan masuk ke area stasiun kereta. Ada mesin untuk tap kartu di sana, tap kartu kita dan masuklah. Ketika sudah sampai di lokasi tujuan, tap di mesin kartu di pintu keluar. Bagaimana dengan nasib kartu ini? ditukarkan di kounter penjualan tiket dengan berkata kepada mbak-mbaknya "Mbak, mau refund" Maka kita akan diberikan uang Rp.5000 jaminan kartu yang tadi, kartu pun dikembalikan. Saat ini, antrian refund dengan pembelian tiket masih dalam satu jalur yang sama, sehingga apabila penuh antrian membeli tiket, maka akan sangat malas untuk antri refund.
Ada pula kartu Commuterline dari Flazz BCA yang sistemnya seperti Ezlink Card Singapore, bisa di top up dan dipergunakan untuk berkendara Commuterline. Ketika kita tap di mesin stasiun awal, maka mesin akan mendeteksi lokasi, dan ketika ketika keluar dan tap lagi, maka saldo otomatis akan terpotong sesuai dengan harga tiket. Kenapa Pemprov tidak bekerja sama saja dengan perusahaan dengan sistem kartu pembayaran seperti itu? Sehingga tidak ada lagi yang namanya refund yang merepotkan. Terkadang krn malas antri refund, kartunya kebawa terus sama saya, tidak saya refund. Commuterline setidaknya lebih efektif jika diterapkan sistem pembayaran dengan kartu :) Semoga saja Commuterline Jabodetabek suatu saat akan seperti MRT di Singapura dan Malaysia.
Bagian Depan Kartu Jaminan Commuterline |
Bagian Belakang Kartu Commuterline Jabodetabek |
No comments:
Post a Comment