Kemarin kami sempat main ke Danau Singkarak dan Museum Gudang Peluru dan Mesiu (sungguh random banget ke Padang aja segala mampir ke museum, risiko anak Jurnalis, liburan ke danau adalah terlalu mainstream). Saat ke Danau, kami hanya beristirahat sejenak, sambil foto-foto kemudian lanjut ke lokasi lain, yakni gudang mesiu. Bagi saya pun pemandangan danau dimana-mana pun sama saja, tidak ada ciri khas-nya, jadi lebih baik luangkan waktu ke lokasi lain yang lebih penting. Hahaha tips kalo traveling nih, cari skala prioritas dan lokasi wisata yang tidak biasa :D
Showing posts with label Sumatera. Show all posts
Showing posts with label Sumatera. Show all posts
Tuesday, May 20, 2014
Istana Pagaruyung
Istano Basa yang lebih terkenal dengan nama Istana Pagaruyung, adalah sebuah istana yang terletak di kecamatan Tanjung Emas, kota Batusangkar, kabupaten Tanah Datar, Sumatera Barat. Istana ini merupakan obyek wisata budaya yang terkenal di Sumatera Barat. Istano Basa yang berdiri sekarang sebenarnya adalah replika dari yang asli. Istano Basa asli terletak di atas bukit Batu Patah dan terbakar habis pada sebuah kerusuhan berdarah pada tahun 1804. Istana tersebut kemudian didirikan kembali namun kembali terbakar tahun 1966. >> powered by Wikipedia hahahhaa.
Siang bolong yang super panas saya dan keluarga juga sempat ke Istano Basa (Istana Besar) atau biasa disebut dengan Istana Pagaruyung. Ini adalah rumah gadang terbesar yang pernah saya temui. Memang super besar sih, entah bagaimana cara membangunnya. Rupanya memang tempat ini menjadi salah satu tujuan wisata jika ke Batusangkar, Sumatera Barat. Walaupun terik panas namun masih saja ada petugas yang menggunakan seragam lengkap baju tradisional Sumatera Barat, lengkap pula dengan Suntiangnya. Luar biasoooo.
Besar :D |
Istana Pagaruyung |
Pose di depan Istana Pagaruyung |
Jam Gadang Bukittinggi
Inilah salah satu icon kota Bukittinggi. Jam Gadang. Kami berkesempatan ke sana saat malam hari. Kenapa? Karena esok hari saya sudah harus balik ke Jakarta dengan pesawat, saya nggak mau kelewatan momen berkunjung ke Jam Gadang, hehe.
Malam hari rupanya makin membuat suasana kota Bukittinggi ini ramai orang. Terbukti saat kami ke sana, berasa pergi ke Malioboro Jogja, sangat penuh orang yang ingin menghabiskan malam di sana dengan ditemani jajanan pinggir jalan dan suasana yang sangat bersahabat. Penuhnya suasana di sekitar jam gadang membuat kami kesulitan untuk mencari parkir mobil. Alhasil kami mendapatkan tempat parkir yang cukup jauh dari icon Bukittinggi tersebut.
Ternyata di sekitar sana banyak juga ada pusat perbelanjaan dengan makanan cepat saji, tak lupa banyak kios yang menjual oleh-oleh khas Padang baik makanan minuman serta souvenir. Saya juga sempat singgah dari gerobak satu ke yang lainnya untuk mencicipi jajanannya. Ada roti goreng dan es cendol ampiang durian Bukittinggi. Saking lapernya saya lupa foto :P
Icon Kota Bukittinggi |
Rumah Budaya Fadli Zon dan Rumah Puisi Taufik Ismail
Salah satu perjalanan saya ke Padang adalah mengunjungi Rumah Budaya Fadli Zon, yakni sahabat Bapak dari jaman belum bikin partai hehe. Lumayan lah bisa singgah dan menginap gratis :P Rumah Budaya Fadli Zon ini berhadapan dengan Rumah Puisi Taufik Ismail. Luar biasa. Sekalian wisata kebudayaan juga nih.
Rumah Budaya Fadli Zon diresmikan pada 4 Juni 2011. Rumah ini diresmikan oleh Fadli Zon, seorang Wakil Ketua Umum Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra), Taufiq Ismail, dan Irwan Prayitno pada hari Sabtu, 4 Juni 2011. Dengan keinginan Fadli Zon untuk menjadikan Sumatera Barat sebagai "kantong budaya", maka ia mendirikan rumah budaya ini >> copas dari Wikipedia
Lokasi Rumah Budaya Fadli Zon juga cukup startegis, yakni berada di kawasan ruas jalan utama menghubungkan Kota Padang – Bukittinggi. Alamat lengkapnya di Jalan Raya Padang Panjang - Bukittinggi KM. 6, Sumatera Barat. Dalam Rumah Budaya tersimpan sejumlah koleksi benda-benda kuno bernilai tinggi, khususnya yang terkait dengan benda kebudayaan Minangkabau tempo dulu.
Saat ke sana, kami disambut oleh Direkturnya yakni Edin Hadzalic yakni saudara dari Fadli Zon. Bule yang super tinggi dan sudah sangat fasih bahasa Indonesia ini pun mengantar kami ke lokasi, hihihi. Kebetulan kamera sudah sekarat banget, tinggal dari HP yang sangat minim sekali untuk mengabadikan suasana isi Rumah Budaya ini.
The Aie Angek Cottage, Rumah Budaya Fadli Zon |
Meriam Lela |
Suntiang |
Mesjid Agung Solok
Ketika perjalanan saya keliling Solok maka kami singgah untuk sholat Isya di mesjid ini. Namanya adalah Masjid Agung Al Muhsinin Kota Solok. Diresmikan pada 16 Desember 2011 silam. Arsitektur mesjid ini agaknya mirip dengan mesjid besar yang ada di Malaysia. Bagian kubahnya bulat dan di bagian dalam terdapat ornamen langit yang memukau. Mesjidnya pun luas dan bersih. Area tempat wudhunya pun bersih dan sangat terawat, saya benar-benar teringat mesjid di Kuala Lumpur. Semoga mesjid-mesjid di Indonesia yang penduduknya mayoritas Islam ini bisa lebih terawat dan nyaman :) Rumah Allah sudah sepantasnya untuk terawat dan nyaman, bukan?
Bagian Depan Mesjid Kota Solok |
Peresmian |
Bagian Dalam Mesjid Kota Solok |
Rumah Gadang Warisan Nenek Moyang
Setelah perjalanan berliku, mendaki, terjal dengan pemandangan sisi kanan kiri jurang tanpa batas, hutan yang rimbun dan jalur yang kadang rusak, maka sampailah kami di Kabupaten Solok, Sumatera Barat. Yeaaaayy Alhamdulillah. Kami langsung disambut oleh keluarga di sana. Saya dan keluarga sebenarnya tidak ada hubungan langsung dengan Padang. Kami berkunjung ke sana karena ajakan dari istri pak uwo saya di Lampung. Ibu saya berasal dari Lampung, memiliki abang, nah abangnya ini punya istri (mak uwo). Maka Solok inilah kampung halaman dari makuwo saya ini :D
Lingkungan perkampungan di Solok masih sangat tradisional, bahkan rumah-rumahnya pun masih berbentuk rumah gadang. Baru kali ini saya benar benar masuk dan tidur di rumah gadang yang asliiii. Biasanya hanya melihat di TMII saja, kurang oke rasanya kalo tidak mencoba langsung. Katanya area sana memang masih buanyaaak sekali rumah gadang, dan memang benar, hampir seluruh rumahnya berbentuk gadang bahkan masih ada lumbung padi dari kayu. Saya dan keluarga saya pun berkeliiling ke sekitar perkampungan. Uni sana bercerita bahwa salah satu rumah gadang miliknya pernah dipergunakan untuk shooting film layar lebar Di bawah Lindungan Ka'bah. Waah. saya jadi penasaran mau liat.
Hampir seluruh ornamen rumah terbuat dar kayu, langit-langit yang tidak begitu tinggi dan isi rumah yang minimalis sangat mengesankan. Rumah gadang ini bahkan ada yang umurnya sampai ratusan tahun, karena sudah ada dari jaman nenek-neneknya. Jadi bisa dibilang ini rumah warisan dari nenek-neneknya terdahulu yang masih awet sampai sekarang.
Inilah bentuk rumah gadang yang ada di area perkampungan Solok :D
Rumah gadang macam gini yang harus selalu dilestarikan dan senantiasa dijaga eksistensinya, karena bukan hanya warisan dari nenek moyang namun juga punya nilai sejarah yang tidak tergantikan.
Ruang Tengah |
Pintu yang mirip jendela |
Pintu yang tertutup tirai |
Sekitar Solok |
Rumah Gadang |
Lumbung Padi |
Rumah Gadang |
Singgah di Jambi
Setelah menginap semalam di Santika Hotel Bengkulu dengan harga diskon lebaran (Alhamdulillah), kami melanjutkan perjalanan melewati Sungai Penuh, Jambi. Kebetulan hari sudah mulai sore dan hari sudah menjelang maghrib. Berbeda dengan pesisir Bengkulu yang sepi, Sungai Penuh ini walaupun tidak berada di pusat kota Jambi, namun ramai riuh orang-orang yang bersiap buka puasa dan mesjid sudah ramai. Kami melipir ke tempat saudaranya dari rekan Bapak. Ini juga pelajaran hidup buat saya, Bapak saya yang jiwa jurnalis selalu berusaha mengunjungi tempat tempat baru dan singgah di rumah rekannya lah, saudaranya rekan lah, orang tuanya rekanlah. Banyak. Kalau berkunjung ke rumah saudara itu sudah pasti namun jika ke tempatnya saudara atau orangtuanya sahabat-sahabat? Mungkin banyak yang sungkan, apalagi mesti berepot-repot mencari rumahnya yang terpencil di desa.
Namun Bapak memiliki pemikiran berbeda, setiap perjalanan jauh dan melewati lokasi manaaaaa...saja yang kiranya ia pernah mendengar kerabat dari rekannya tinggal di sana, maka akan dikunjungi. Ada salah satu momen yang saya ingat, ketika itu kami sedang bepergian jauh entah di Jawa Timur bagian mana saya lupa yang jelas masih pedesaan sekali. Ketika itu Bapak teringat bahwa salah satu pegawai kantor bagian editor, pernah bercerita bahwa orang tuanya tinggal di daerah yg kami lewati tersebut. Maka dadakan Bapak mengarahkan perjalanan kami untuk ke lokasi tersebut. Dadakan. Ya, di luar dari jadwal seharusnya. Bapak kemudian menelepon rekannya tersebut yang saat itu sedang di kantor. Menanyakan alamatnya dan ancer-ancernya masuk gang sebelah mana, maklum pedesaan dengan kondisi gunung dan bukit. Betapa kaget dan terharunya rekan Bapak tersebut, ia baru menikah beberapa bulan yang lalu dan belum sempat mengunjungi keluarganya di kampung lagi, eh malah Bapak saya yang berkunjung.
Masuk ke area perkampungannya sangat luar biasa, terjal mendaki dan menyenangkan. Hingga sampailah kami di lokasi yang dimaksud. Kami disambut dengan sumringah setengah bingung oleh orang rumahnya. Sesaat sebelumnya rekan bapak langsung menelepon orang rumahnya bahwa kami akan berkunjung. Bapak pun mempekenalkan diri dan bilang ingin silaturahim karena memang lewat daerah sini. Bukan main senangnya keluarga di sana, kami disuguhkan susu sapi murni yang baru saja diperas dari sapi. Susu itu langsung di rebus dalam tungku kayu bakar dan diminum hangat-hangat. Saya pun menengok di belakang rumah ada kandang sapi dan kambing mungil. Bagian depan rumah ada kebun yang berisi sayur-sayuran.
Sembari Bapak saya mengobrol dan menikmati susu hangat dengan Ayah dan Ibu dari rekan bapak saya itu, dengan sigap Bapak langsung mengeluarkan kamera kepada saya, hanya isyarat saya, tapi saya mengerti maksudnya adalah...pasti minta diambilkan foto. Ya ya..Jurnalis. Saya mengambil foto cukup banyak baik orang tua tersebut dan lingkungan rumahnya. Beberapa bulan kemudian, salah satu dari orang tua rekan Bapak saya itu berpulang. Saya agak lupa, entah Ayahnya atau Ibunya. Dan rekan bapak belum sempat menengok. Dan foto yang saya ambil itulah kenangan terakhir dan foto terakhir yang diambil :(
Kembali ke Jambi lagi, atas dasar silaturahim dan hobi Bapak saya yang ketemu banyak orang, maka kami singgah di sebuah rumah makan milik saudara dari rekan Bapak. Memang tinggalnya di Jambi, namun mereka membuka usaha rumah makan padang kecil-kecilan yang sangat ramai peminatnya. Kami memang berencana buka puasa di sana, sembari mengobrol dan menyantap makanan khas padang, terutama dendeng baladonya yang supeerrrr! Rezeki gak kemana, walaupun kami bersikeras untuk membayar makanan kami, namun mereka pun bersikeras untuk menolak, sampai akhirnya ya sudah kami makan ditraktir yang punya warung hehe. Insya Allah akan dibalas dengan kebaikan baik yang berunjung maupun menjamu, aaamiiin.
Pesisir Bengkulu
Perjalanan kami sekeluarga ke Padang cukup melelahkan namun menyenangkan. Rute kami yang menggunakan jalur darat membuat adrenalin kami terpacu dan sering dikir, hehe. Bagaimana tidak, sepanjang perjalanan kami disuguhkan oleh pemandangan yang luar biasa cantik dan mengerikan. Kami menyusuri jalur Bengkulu melalui pesisir pantai, suasana yang panas dan menyengat sisi barat pantai membentang tiada ujung. Jalan raya pun sepi dan lalu lalang hewan sapi dan kerbau di jalan raya menjadi pemandangan biasa.
Hari itu hari-hari terakhir Ramadhan. Dari kecil kami diajarkan kedua orang tua yang senang bepergian jauh menjelang lebaran, bahwa sejauh apa pun perjalanan kami, jika tidak sakit dan masih kuat untuk tetap berpuasa, maka berpuasalah, insya Allah berkah musafir akan lebih terasa. Memang ada rukhsah (kemudahan) untuk tidak berpuasa ketika sedang perjalanan jauh dan diganti dengan hari lain, namun mengapa kita sia-siakan Ramadhan mulia ini? Maka kami sekeluarga tetap berpuasa walaupun pergi jauh ke berbagai tempat saat Ramadhan.
Hari mulai gelap dan kemungkinan adzan maghrib segera berkumandang, kami masih perjalanan di pedesaan Bengkulu. Sungguh pesisir Bengkulu ini agak jauh dari suasana Islami, tidak ada tanda-tanda orang berpuasa dan bersiap maghrib ke surau terdekat. Berhubung menjelang maghrib, maka kami putuskan untuk berhenti di salah satu mesjid pinggiran desa Bengkulu. Sepi.
Kondisi mesjidnya cukup memprihatinkan, bahkan ketika waktu Maghrib area Bengkulu dan sekitarnya telah tiba, tidak satu pun orang yang datang ke mesjid itu, bahkan untuk sekedar adzan. Padahal saat itu Ramadhan, yang biasanya orang lebih giat ibadah. Saya tidak bisa membayangkan bagaimana dengan hari biasanya. Astaghfirullah. Kami pun mengumandangkan adzan tanpa speaker. Kemudian membuka bekal perjalanan kami yang sudah kami siapkan dari Lampung. Santapan berbuka puasa nikmat langsung ludes, maklum orangnya juga banyak, dua mobil penuh hehe. Setelah berbuka puasa, dan membereskan perlengkapan makan kami, kami lalu menunaikan shalat maghrib berjamaah.
Ketika selesai sholat dan berberes ingin meninggalkan area mesjid, barulah dua tiga orang bapak paruh baya masuk mesjid dan hendak bersiap sholat. Pun tidak ada dikumandangkan adzan. Menurut saya juga itu sudah lewat waktu Maghrib cukup lama. Entahlah. Menjadi pengalaman dalam hidup saya juga, bahwa beruntung untuk kita yang masih tinggal dipemukiman yang mesjidnya hidup dan dihidupkan. Masih terdengar adzan, masih banyak orang yang tergerak untuk sholat di mesjid. Bersyukurlah.
Sumbar Journey : 22 Jam Jakarta - Lampung!
Ahad, 04 Agustus 2013. Hari itu saya dan keluarga akan menjelajah Lampung, Bengkulu, Jambi, Sumatera Barat dan Palembang. Pake pesawat? Tentu tidak. Pake jalur darat, alias pake mobil alias gempor meeen. Kalo dibayangin waktu sebelum berangkat sih pastinya ngeri juga menjelajah lebih dari 2500 kilometer ya! Berhubung saya suka banget jalan dan bepergian, maka rute yang super panjang ini menjadi sangat menantang dan ngajak ribut banget! :D Namun sayang, saya tidak dapat ikut full journey keluarga saya, karena saya harus pulang lebih awal pada tanggal 10 Agustus 2013 menggunakan pesawat. Kenapa? Well, bukan mau curang, pulang naik pesawat sih, tapi hari Senin saya sudah harus kerja lagi dan gak dapet jatah cuti bulan itu *nasip*. Nah, bagaimana rute perjalanan saya Jakarta - Sumatera Barat? This is it!
Our Route |
Saya sekeluarga berada dalam satu mobil yang dikendarai oleh adik saya yang cowo, namanya Nabi. Rencananya sih nanti akan ada driver kenalan pak uwo saya dari Lampung, ya buat gantian gitu lah. Selain satu mobil ini, ada keluarga saya yang tinggal di Bandung yang turut serta satu mobil. Om saya itu merupakan adik dari Ibu saya, jadi ya orang Lampung juga. Om, tante dan kedua sepupu saya berada di mobil tersebut. Sehingga total mobil yang ikut ada dua mobil, yess! Lepas sahur dan sholat Shubuh, dengan mengucapkan Bismillah maka berangkatlah kami. Kebiasaan keluarga saya dari dulu adalah nggak mau ninggalin puasa walaupun dalam keadaan bepergian. Sebenarnya bisa sih mengganti puasa di bulan lain saat kita bepergian, seperti tercantum dalam surat Al-Baqarah.
"(yaitu) beberapa hari tertentu. Maka barang siapa di antara kamu sakit atau dalam perjalanan (lalu tidak berpuasa), maka (wajib mengganti) sebanyak hari (yang dia tidak berpuasa itu) pada hari-hari yang lain. Dan bagi orang yang berat menjalankannya, wajib membayar fidyah, yaitu memberi makan seorang miskin. Tetapi barang siapa dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, maka itu lebih baik baginya, dan puasamu itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui." (QS. Al-Baqarah: 184)
Bagi kami, perjalanan jauh bukanlah merupakan hambatan untuk puasa. Bahkan saya dan adik-adik saya dari kecil sudah dicontohkan oleh orang tua saya jika kami bepergian ya semua tetap puasa. Insya Allah perjalanan menjadi lebih berkah.
Perjalanan dimulai dari depan garasi rumah saya (ya iyalah) saat itu pukul 05.15 pagi dan kami meluncur menuju pom bensin perempatan Ragunan karena harus isi bensin full. Oh iya, ada kebiasaan Bapak saya juga nih, terkait satu produk ciamik. Namanya saya lupa *lah* tapi ini asli bikin irit bensin loh, terutama yang mobil diesel seperti mobil saya ini. Lumayan ngirit pengeluaran juga. Nanti saya tanya Bapak saya dulu ya namanya apaan. (terus ngapain ditulis disini?). Selesai isi bensin sampai penuh, iseng saya pasang GPS di Android saya. Saya paling suka otak atik GPS walaupun suka sotoy sendiri.
Sebelum memulai perjalanan, saya sempat diskusi dulu dengan Bapak saya mengenai rute perjalanan yang akan kami tempuh, maka jadilah seperti yang tercantum di gambar atas. Saya menggunakan fasilitas Google Maps untuk mengukur jarak tempuh. Setelah hitung-hitungan dan diskusi banyak, maka ditetapkanlah kami akan lewat jalur Bengkulu. Seumur-umur sih saya belom pernah nginjekin kaki di pesisir Barat Sumatera ini, ya, Bengkulu. Super excited tentunya. Namun Bapak saya bilang jalur yang akan kami tempuh memang lebih dekat, tapiiiii jalurnya berliku-liku, terjal, banyak lembah dan jurang serta sepi abis!
Walapun jaman sekarang sudah super canggih, ngobrol sama satu rumah aja ada yang pake bbm atau whatsapp (ini emang males apa keracunan teknologi sih) dan sekarang udah jaman google maps dan GPS--- tapi Bapak saya yang jurnalis sejati, masih memegang teguh pake peta manual, hard copy. Beneran dibeli peta Sumatera Barat yang segede gambreng itu di Gramedia, kemudian ngambil juga peta-peta dari surat kabar seperti Kompas (berhubung di rumah langganannya Kompas). Tak lupa kalau ada yang bagi-bagi gratis peta mudik di tempat perbelanjaan juga disikat (emang deh kalo gratis). Jadilah saya punya 3 peta Sumatera, yeaahhh! Kenapa mesti peta hardcopy? Karena peta hardcopy lebih mudah dibawa-bawa, sedangkan google maps belum tentu ada sinyalnya kan di daerah sana (alasan ini baru saya sadari di kemudian hari, telaaaatt), plus karena Bapak saya juga gaptek abis hehehe, "repot ah pake GPS" begitu pangkasnya :D
Berhubung jalan menuju Merak dari rumah saya sudah familiar dan sudah tahu jalannya, maka saya memutuskan untuk tidur di jalanan, dan berniat bangun sih pas nanti sudah sampai Pelabuhan Merak ya. Dua jam kemudian, saya bangun dan melihat macet total di depan jalan. Weleeehhh! Akses menuju Pelabuhan Merak ada 2, bisa melalui tol Merak, bisa juga keluar dari Tol Cilegon. Pada saat itu Bapak saya entah mengapa sedang sibuk dengan pembicaraan di HP, sehingga lupa perkiraan untuk lewat Tol Cilegon. Alhasil kami lewat jalur tol Merak yang biasa dan JEDAAARRR! Macet meen!
Ternyata saat itu ada jalanan di tutup oleh kepolisian yang bertugas jaga selama mudik, menggunakan sistem buka tutup. Tapi ini ngeselinnya, bukannya sebagian diarahkan ke jalan yang bawah yang nantinya akan ke Merak juga, tetapi ini dijadikan satu semua. Fiiuuuh. Mana buka tutupnya itu yaaa.... buka 5 menit, tutupnya 1 jam. Gimana gak emosi! Padahal hanya kurang dari 6 kilometer lagi kami sudah samapi depan Pelabuhan Merak. Luar biasaaa. Dari yang tidur dengan posisi nyaman, sampe pengen lompat ke luar mobil buat senam SKJ dulu saking pegelnya. Sambil pusing lihat kemacetan yang bener-bener stuck, berhenti (bukan padat merayap), saya iseng memperhatikan ke sekitar jalanan. Wah bener-bener seperti bukan bulan Ramadhan. Seenaknya saja penumpang dan pengendara di dalam mobil yang kacanya dibuka kemudian makan dan minum tanpa rasa bersalah. Saya tahu mereka Islam, karena ada yang pakai jilbab. Walaupun mereka tidak puasa, bisakah menghormati dan menghargai bulan Ramadhan dan orang-orang yang masih berpuasa di sana? Yang Non-Muslim saja hormat kok, ini orang Muslim sendiri yang nggak menghargai. Dan lucunya lagi, pedagang asongan pun gak malu-malu lagi menawarkan makanan dan minuman kepada korban macet di sana. Astaghfirullah, lucunya negeri ini!
"(yaitu) beberapa hari tertentu. Maka barang siapa di antara kamu sakit atau dalam perjalanan (lalu tidak berpuasa), maka (wajib mengganti) sebanyak hari (yang dia tidak berpuasa itu) pada hari-hari yang lain. Dan bagi orang yang berat menjalankannya, wajib membayar fidyah, yaitu memberi makan seorang miskin. Tetapi barang siapa dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, maka itu lebih baik baginya, dan puasamu itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui." (QS. Al-Baqarah: 184)
Bagi kami, perjalanan jauh bukanlah merupakan hambatan untuk puasa. Bahkan saya dan adik-adik saya dari kecil sudah dicontohkan oleh orang tua saya jika kami bepergian ya semua tetap puasa. Insya Allah perjalanan menjadi lebih berkah.
Perjalanan dimulai dari depan garasi rumah saya (ya iyalah) saat itu pukul 05.15 pagi dan kami meluncur menuju pom bensin perempatan Ragunan karena harus isi bensin full. Oh iya, ada kebiasaan Bapak saya juga nih, terkait satu produk ciamik. Namanya saya lupa *lah* tapi ini asli bikin irit bensin loh, terutama yang mobil diesel seperti mobil saya ini. Lumayan ngirit pengeluaran juga. Nanti saya tanya Bapak saya dulu ya namanya apaan. (terus ngapain ditulis disini?). Selesai isi bensin sampai penuh, iseng saya pasang GPS di Android saya. Saya paling suka otak atik GPS walaupun suka sotoy sendiri.
Sebelum memulai perjalanan, saya sempat diskusi dulu dengan Bapak saya mengenai rute perjalanan yang akan kami tempuh, maka jadilah seperti yang tercantum di gambar atas. Saya menggunakan fasilitas Google Maps untuk mengukur jarak tempuh. Setelah hitung-hitungan dan diskusi banyak, maka ditetapkanlah kami akan lewat jalur Bengkulu. Seumur-umur sih saya belom pernah nginjekin kaki di pesisir Barat Sumatera ini, ya, Bengkulu. Super excited tentunya. Namun Bapak saya bilang jalur yang akan kami tempuh memang lebih dekat, tapiiiii jalurnya berliku-liku, terjal, banyak lembah dan jurang serta sepi abis!
Walapun jaman sekarang sudah super canggih, ngobrol sama satu rumah aja ada yang pake bbm atau whatsapp (ini emang males apa keracunan teknologi sih) dan sekarang udah jaman google maps dan GPS--- tapi Bapak saya yang jurnalis sejati, masih memegang teguh pake peta manual, hard copy. Beneran dibeli peta Sumatera Barat yang segede gambreng itu di Gramedia, kemudian ngambil juga peta-peta dari surat kabar seperti Kompas (berhubung di rumah langganannya Kompas). Tak lupa kalau ada yang bagi-bagi gratis peta mudik di tempat perbelanjaan juga disikat (emang deh kalo gratis). Jadilah saya punya 3 peta Sumatera, yeaahhh! Kenapa mesti peta hardcopy? Karena peta hardcopy lebih mudah dibawa-bawa, sedangkan google maps belum tentu ada sinyalnya kan di daerah sana (alasan ini baru saya sadari di kemudian hari, telaaaatt), plus karena Bapak saya juga gaptek abis hehehe, "repot ah pake GPS" begitu pangkasnya :D
Berhubung jalan menuju Merak dari rumah saya sudah familiar dan sudah tahu jalannya, maka saya memutuskan untuk tidur di jalanan, dan berniat bangun sih pas nanti sudah sampai Pelabuhan Merak ya. Dua jam kemudian, saya bangun dan melihat macet total di depan jalan. Weleeehhh! Akses menuju Pelabuhan Merak ada 2, bisa melalui tol Merak, bisa juga keluar dari Tol Cilegon. Pada saat itu Bapak saya entah mengapa sedang sibuk dengan pembicaraan di HP, sehingga lupa perkiraan untuk lewat Tol Cilegon. Alhasil kami lewat jalur tol Merak yang biasa dan JEDAAARRR! Macet meen!
Ternyata saat itu ada jalanan di tutup oleh kepolisian yang bertugas jaga selama mudik, menggunakan sistem buka tutup. Tapi ini ngeselinnya, bukannya sebagian diarahkan ke jalan yang bawah yang nantinya akan ke Merak juga, tetapi ini dijadikan satu semua. Fiiuuuh. Mana buka tutupnya itu yaaa.... buka 5 menit, tutupnya 1 jam. Gimana gak emosi! Padahal hanya kurang dari 6 kilometer lagi kami sudah samapi depan Pelabuhan Merak. Luar biasaaa. Dari yang tidur dengan posisi nyaman, sampe pengen lompat ke luar mobil buat senam SKJ dulu saking pegelnya. Sambil pusing lihat kemacetan yang bener-bener stuck, berhenti (bukan padat merayap), saya iseng memperhatikan ke sekitar jalanan. Wah bener-bener seperti bukan bulan Ramadhan. Seenaknya saja penumpang dan pengendara di dalam mobil yang kacanya dibuka kemudian makan dan minum tanpa rasa bersalah. Saya tahu mereka Islam, karena ada yang pakai jilbab. Walaupun mereka tidak puasa, bisakah menghormati dan menghargai bulan Ramadhan dan orang-orang yang masih berpuasa di sana? Yang Non-Muslim saja hormat kok, ini orang Muslim sendiri yang nggak menghargai. Dan lucunya lagi, pedagang asongan pun gak malu-malu lagi menawarkan makanan dan minuman kepada korban macet di sana. Astaghfirullah, lucunya negeri ini!
Tak terasa hari sudah senja (bohong sih, terasa banget kok lama-nya, seharian di mobil padahal jaraknya hanya 6 kilo saja hehehehe). Saat itu pukul 17.00 dan kami baru bisa masuk mengantri pintu masuk pelabuhan Merak. Bapak saya sudah ribut minta disiapkan makanan untuk buka puasa ahahaha. Ibu saya memang top banget, dari dulu kalau perjalanan seperti ini memang biasanya menyiapkan bekal dari rumah, ya nasi, lauk pauk alat makan dan semuanya bawa dari rumah, nanti di makan ramai-ramai. Hingga menjelang Maghrib pun terasa cepat sekali (mungkin karena laper). Bapak saya pun mengantar makanan untuk mobil Om saya di belakang mobil saya. Sembari mengantar makanan, Bapak saya menyeloteh "Haduh, Rin..banyak sekali yang nggak puasa, apa cuma kita aja nih yang tetep puasa?" Eh di mobil sebelahnya ada ibu-ibu nyeletuk "Insya Allah kami masih puasa, Pak satu mobil ini." Spontan Bapak saya dan Om saya nengok dan berbarengan berucap "Alhamdulillaaaaaahhh" Tapi emang bener loh, saat itu banyak banget yang makan dan minum seenaknya :(
Adik saya yang nyetir, Nabi, berhubung laper gilak, dia mau beli makanan bungkus yang dijual sama abang-abang yang keliling di sekitar pelabuhan Merak. Awalnya Ibu dan Bapak saya melarang, karena belum tentu bersih kan? Tapi setelah di cek, packagingnya dari styrofoam, tertutup dan bersih kelihatannya, maka dibeli lah 1 bungkus untuk Nabi. Di sekitarnya banyak juga yang jual makanan nasi bungkus yang tidak tertutup rapi, terhampar dan kelihatan eyuuhhh :| Saat buka puasa dia makan nasi bungkus itu, ternyata rasanya biasa-biasa saja. Justru makanan dari rumah yakni sosis saos bbq dan jamur teriyaki yang super duper lezat bikin kami semua ketagihan. Ujung-ujungnya Nabi makan pake lauk dari rumah, hahahah mamam, dibilangin orang tua malah ngeyel sih! :D
Setelah membayar tiket masuk untuk dua mobil, kami pun kembali mengantri kapal yang akan mengankut kami. Ternyata kami dapat di dermaga 1 dan dapat kapal dengan muatan cukup besar. Salah satu yang bikin saya deg-degan naik kapal ferry adalah saat mobil menaiki landasan 45 derajat yang mengerikan itu. Terkadang ada mobil yang gak bisa nanjak dan mundur di tengah jalan, mengerikan untuk mobil yang berada tepat di belakangnya. Hahaha. Alhamdulillah lancar pendakiannya :"D
Another story di dalem kapal ferry, ternyata cobaan kami luar biasa hari itu. Perjalanan ferry kami sering terhenti dan berhenti di tengah laut. Biasa. Menunggu giliran dermaga. Saya bingung sama pemerintah, ribut banget soal menambah armada kapal ferry tapi bisa-bisanya melupakan dermaganya. Kapalnya saja yang ditambah kalo dermaga segitu gitu aja ya tetep aja antri panjang. Dengan banyaknya berhenti di tengah laut, perjalanan kami yang harusnya memakan waktu hampir 6 jam. Biasanya hanya ditempuh dalam waktu 3 jam saja. Ini sih berasa Merak - Bakauheni - Merak (pulang-pergi meeeeeennn). Alhasil total perjalanan saya dari Jakata sampai Lampung kota adalah 22 jam. Fiuh.
Subscribe to:
Posts (Atom)