Pemilu 2014 Republik Indonesia tidak terasa sudah menghitung hari. Memang masih bulan Juli, namun ada baiknya sudah memikirkan dan update informasi dari sekarang. Bangsa Indonesia butuh pemimpin yang mengedepankan hak rakyat, melayani, jujur dan berakhlak mulia. Saat-saat seperti ini, saya jadi rindu membaca pemerintahan zaman Rasulullah dan umirul mukminin. Sangat kontras sekali dengan yang saya rasakan selama ini. Ketika sebuah negara besar dipimpin oleh orang yang amanah, berani dan berakhlak mulia, tidak ada kejahatan merajalela, bahkan umat non Muslim pun merasa aman dipimpin oleh kaum Muslimin. Sungguh indah.
Bertebaran visi dan misi para calon presiden agaknya membuat rakyat bingung. Kasus korupsi yang tidak kunjung selesai membuat masyarakat pun apatis dan menganggap semuanya pasti akan berakhir korupsi tanpa ada harapan untuk perubahan. Banyaknya janji wakil rakyat membuat warga negara ini muak dan lelah menuntut janji. Profil wakil rakyat yang kadang jauh dari yang sebenarnya pun membuat rakyat tidak percaya. Lalu bagaimana Indonesia akan dapat pemimpin yang baik jika yang dipimpin tidak ada semangat untuk melakukan perubahan, setidaknya dengan memilih pemimpin yang baik.
Sebenarnya saya tidak setuju dengan sistem pemilihan umum dengan pemungutan suara seperti ini. Diberlakukan sistem one man one vote, yang artinya adalah satu orang satu suara. Jadi apabila ada guru besar memilih calon A akan kalah suara dengan para buruh yang (mohon maaf) tidak memiliki pendidikan yang memilih calon B. Dimana kondisinya calon B itu tidak baik. Maka calon B yang menang karena lebih banyak mendapat suara. Ibaratnya satu suara atau vote dari BJ Habibie, akan sama saja dengan satu suara atau vote dari pengemis. Padahal pengemis itu juga tidak paham siapa yang dia pilih.
Bagamaina dengan kondisi rakyat Indonesia saat ini? Lebih banyak yang berpendidikan atau yang tidak berpendidikan? Bagaimana jika para masyarakat pedesaan diberikan image baik tentang salah satu calon yang mengakibatkan calon tersebut mendapat suara banyak, padahal calon itu buruk? Bisa dibayangkan hasil dari Pemilu yang kita terima jika menggunakan sistem one man one vote. Beda cerita kalau kondisi masyarakat kita yang sudah berkecukupan dan berpendidikan, setidaknya bisa memilih mana yang baik.
Tanpa mendeskriditkan pihak mana pun, bahwa mencari tahu tentang pemimpin itu sangat perlu. Islam mengajarkan, jika ada dua pilihan maka pilihlah yang paling baik. Jika keduanya baik, maka pilihlah yang paling sedikit mudharatnya (keburukannya). Islam yang mengajarkan. Sudah selayaknya juga Partai Islam menerapkan hal serupa, itulah mengapa banyak yang berkoalisi. Namun sayang, bukan berkoalisi antar sesama Partai Islam. Kini, Partai Islam terpecah menjadi berbagai kalangan, tidak seperti Partai Islam tempo dulu.
Pemilu sampai dengan tahun 1998 hanya diikuti oleh 3 Partai saja yakni PPP, PDI dan Golkar. Setelah itu ada masa orde baru sehingga Pemilu tahun 1999 diikuti oleh 48 Partai. Ini merupakan Pemilu yang paling banyak pesertanya selama yang saya tahu. Mungkin karena sudah bosan dengan 3 Partai, maka pecah menjadi banyak Partai, makin banyak kepentingan, makin banyak orang yang ingin menonjol sendir, makin banyak orang yang haus kekuasaan. Pun demikian dengan Partai Islam.
Tadinya Partai Islam bersatu dalam Partai Persatuan Pembangunan (PPP), hanya satu panji. Semua kepentingan Islam dan harapan membangun Indonesia yang bermartabat dengan generasi Qur'ani bersatu di sana. Namun tahun 1999 pecah. Partai Islam terpecah menjadi Partai Bulan Bintang, Partai Keadilan, Partai Nadhatul Ulama, dan sebagainya. Hal tersebut masih terjadi di Pemilu tahun 2004, 2009 bahkan di tahun 2014. Seyogyanya Partai Islam bersatu padu dan membangun rencana untuk Indonesia yang lebih baik.
No comments:
Post a Comment