Sunday, December 14, 2014

Mendadak Khitbah

Hari Ahad di penghujung Agustus 2014, saya dan pacar ada rencana ngobrol bareng dengan Bapak dan Ibu saya. Rencananya sih hanya ngobrol santai agak serius sebagai langkah awal si pacar mendekat diri kepada Bapak dan Ibu saya. Maklum, biasanya si pacar memang jarang sekali main ke rumah, dan dari 2005 saya mengenal dia, belum pernah sama sekali duduk bareng untuk ngobrol agak serius dengan Bapak saya. Saya pun memberikan informasi kepada kedua orang tua saya bahwa si pacar ingin berkunjung dan mengobrol dengan Bapak. Kebetulan kedua orang tua saya ke Lampung dan baru kembali pada hari Ahad pagi. Waktu yang pas untuk ngobrol-ngobrol santai dengan mereka pasca pulang dari Lampung.
 
Memang tujuan utamanya hanya ngobrol biasa, jadi saya dan si pacar juga santai-santai saja. Tidak ada yang begitu spesial dan harus dipersiapkan. Paling makan siang karena waktu pertemuan hampir tiba makan siang. Walaupun Ibu saya beberapa kali menanyakan keseriusan si pacar terhadap saya, namun saya tidak menekan si pacar untuk segera melamar saya, toh dia yang paling paham kapan waktu terbaiknya *preeet.
 
Ketika sampai rumah saya, si pacar disambut oleh saya dan Ibu. Kami bercanda seperti biasa, duduk di ruang tamu. Sesekali saya berbisik "deg-degan gak yang?" Ia menjawab dengan cengengesan khas "Nggak kok, biasa aja. Tapi keringetan nih." Katanya sambil kipas-kipas. Tak lama, datang Bapak saya ikut nimbrung. Bapak saya orang yang sangat tegas dan senang sama orang yang update informasi di berbagai media, sedangkan si pacar adalah tipe orang yang super males banget update berita. Hahaha. Ketemunya sama calon mertua jurnalis.

Bapak saya pun membuka obrolan to the point dengan hanya berkata "Jadi, gimana, tro?" Yang mungkin artinya adalah Apa maksud kedatangan kamu ke sini? Mendengar pertanyaan Bapak saya ke pacar, yang ditanya juga pacar, tapi malah saya yang panik, laaah gimana jawabnya yaa ini. Ternyata si pacar menjawab dengan sangat tenang dan teratur, bahwa ia datang ingin meminta izin kepada Bapak dan Ibu saya untuk menikahi saya, menjadi saya istri, Ibu dari anak-anaknya kelak dan menjadikan saya sebagai jodoh dunia akhiratnya. Ia juga menjelaskan bahwa ia bukan orang yang punya banyak kelebihan, dan masih banyak kekurangan pada dirinya sehingga ia tetap akan berusaha terus memperbaiki diri. Ia menjelaskan keadaan keluarganya dan segala macam informasi yang dibutuhkan oleh Bapak dan Ibu saya.

Hingga di akhir pembicaraan ia mengulang kembali, bahwa semuanya tergantu izin dari Bapak dan Ibu saya. Si pacar menjelaskan dengan tenang dan tidak ada kesan nervous apalagi terbata-bata, persis seperti interview kerja. Selesai mengutarakan maksudnya, saya, Ibu dan Bapak bengong alias krik krik alias speechless. Terlebih saya yang makin speechless, karena niat kami berdua di awal pertemuan adalah hanya obrolan biasa saja, bukan untuk acara minta ijin menikah seperti ini. Mana saya tahu tiba-tiba jadi adegan melamar gini.

Aaarrgghhh!! ^^

Voilaaaa…maka hari itu jadi hari bersejarah buat saya. Kalau kata orang lamaran itu adalah mendatangkan keluarga pihak laki-laki kepada pihak wanita, memberikan hantaran dan tukar cincin, maka persepsi lamaran dalam benak saya adalah seorang laki-laki yang mendatangi Bapak/Wali nikah wanita untuk meminta ijin menikahi wanita tersebut. Jika ditarik istilah mungkin yang mendekati adalah khitbah atau meminang. Ya, saya lebih sepakat dengan khitbah ketimbang lamaran ala Indonesia pada umumnya. Saya, pacar dan keluarga pun sepakat untuk tidak mengadakan acara lamaran yang heboh itu, kami hanya akan mengadakan acara keluarga kedua belah pihak, insya Allah. :D

Salam,
Noni Halimi

No comments:

Post a Comment